Juruketik.com – Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bogor mencatat ada sebanyak 1.940 angkot atau angkutan umum yang akan hilang di Kota Hujan mulai 1 Januari 2026 atau tahun depan.
Pengurangan ini dilakukan mengingat ribuan angkot tersebut sudah uzur atau berusia di atas 20 tahun, sehingga tidak lagi diizinkan beroperasi.
“Kendaraan yang umur teknisnya sudah lewat 20 tahun tidak boleh beroperasi lagi. Jumlahnya sekitar 1.940 unit,” kata Kepala Dishub Kota Bogor, Sujatmiko Baliarto.
Menurutnya, kebijakan ini sudah melalui kesepakatan bersama dengan Organisasi Angkutan Darat (Organda).
Ada tiga mekanisme pengurangan jumlah angkot. Pertama, konversi dengan skema 3 banding 1. Kedua, pengurangan sukarela, khususnya pada jalur Sistem Satu Arah (SSA) yang akan difungsikan sebagai koridor angkutan.
Ketiga, pengurangan alami karena banyak pemilik menyerahkan armadanya akibat sepi penumpang.
“Load factor angkot saat ini rata-rata hanya 30 persen, bahkan turun hingga 25 persen. Artinya, penumpang semakin sedikit sehingga usaha ini tidak lagi potensial. Banyak pemilik menyerahkan sendiri armadanya,” ucap dia.
Untuk memastikan aturan berjalan, Dishub Kota Bogor menyiapkan operasi terpadu untuk menertibkan angkot tidak layak jalan. Koordinasi juga dilakukan bersama pihak kepolisian, Dishub Provinsi Jawa Barat, serta Pemkab Bogor.
Sujatmiko menambahkan, masih banyak angkot modifikasi seperti odong-odong yang beroperasi tanpa izin dan merugikan pengemudi resmi.
“Karena itu, akan ada operasi terpadu secara intensif,” tegasnya.
Melalui langkah ini, Dishub berharap transportasi publik di Kota Bogor bisa lebih tertib, adil, dan sesuai kebutuhan masyarakat.
Sementara itu, Ketua Komisi III DPRD Kota Bogor, Heri Cahyon menyatakan dukungan terhadap kebijakan tersebut. Menurutnya, keselamatan dan kenyamanan masyarakat harus menjadi prioritas utama.
“Angkot yang sudah terlalu tua berpotensi menimbulkan gangguan teknis, rawan kecelakaan, dan kurang layak dari sisi kenyamanan maupun ramah lingkungan,” jelas, Kamis 18 September 2025.
Namun ia menekankan, kebijakan ini harus dibarengi dengan solusi transisi yang adil bagi sopir maupun pemilik angkot, seperti program konversi, subsidi, atau integrasi ke sistem transportasi massal modern seperti BISKITA dan rencana Bus Rapid Transit (BRT).
“Jangan sampai niat baik ini justru menimbulkan masalah sosial baru. Kami berharap Dishub menyiapkan roadmap yang jelas, komunikasi yang baik dengan pelaku transportasi, serta sinergi dengan program nasional seperti elektrifikasi transportasi,” pungkasnya. (3RY)