Juruketik.com – Ditengah maraknya perabotan rumah tangga berbahan plastik dan bahan elektronik, boboko atau bakul nasi berbahan bambu asal Cileungsi, Kabupaten Bogor masih tetap eksis.
Sepasang suami istri, Emong (60) dan Nessa (55) di Kampung Palasari, Desa Mampir, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor masih tetap bertahan menjadi pengerajin boboko bambu
Setiap hari Emong dan Nessa menganyam rautan bambu menjadi boboko di sebuah saung di pelataran rumahnya.
Disana Emong duduk didalam saung sedangkan sang istri duduk di atas kursi bambu sambil terus fokus menganyam boboko.
Saat ini kata Emong jumlah penjualan boboko bambu ini jauh menurun dibanding pada tahun 80an hingga tahun 90an.
“Tahun 2000 sudah banyak produk bahan plastik, terus ada yang penanak nasi elektronik juga, dari situ peminat mulai turun,” ujarnya.
Meski demikian kata Emong, masih ada masyarakat yang tetap menggunakan boboko bambu dan tidak beralih menggunakan berbahan plastik.
Selain terbuat dari bahan alami yang jauh dari kontaminasi bahan kimia penggunaan boboko kayu juga memiliki banyak manfaat.
Biasanya boboko digunakan sebagai wadah menyimpan makanan.
“Jaman dulu mah dipakai juga buat nyimpen makanan, buat bawa makanan ke sawah, bisa juga untuk mengirimkan makanan ke tetangga,” katanya.
Selain itu boboko juga bisa digunakan untuk menyimpan beras mencuci beras dan wadah nasi.
Boboko yang dibuat Nesa dan suami ini mampu menampung sekitar tiga liter beras.
“Kalau yang ini ukuran sedang, kalau dipakai untuk beras katanya tidak banyak kutu, terus kalau dipakai untuk nasi tidak mudah basi,” ujarnya.
Kemampuan membuat boboko didapatkan Emong dan Nesa dari orangtuanya.
Karena sejak turun temurun keluarganya menjadi pengerajin boboko.
Dalam sehari keduanya bisa membuat sekitar 10 hingga 20 boboko tergantung dari ketersediaan bahan baku dan kualitas bahan baku.
Proses pembuatannya pun perlu memakan waktu cukup lama dimulai dengan memotong selongsong bambu menjadi bilah bambu yang kemudian dipotong tipis menjadi ruatan bambu.
Selanjutnya bambu dihaluskan dan dijemur agar lebih mudah dibentuk.
“Kalau sudah ada bambu yang diraut proses pembuatan satu boboko makan waktu 10 menitan. Awalnya di anyam kemudian dibentuk terus dipasangi kaki,”katanya.
Selain ingin melestarikan usaha turun temurun, Emong terpaksa tetap bertahan menjadi pengerajin boboko lantaran kondisi kakinya mengalami musibah pada tiga tahun lalu.
Kondisi itu membuat Ia harus menggunakan tongkat untuk berjalan.
“Ya, bertahan karena tidak bisa kerja yang lain cuma kerja gini aja buat sehari harinya,” ucapnya.
Dari sisi penjualan pasutri ini tak ada kesulitan untuk menjualnya.
Nesa mengatakan setiap satu minggu sekali boboko yang sudah dikumpulkan ini akan diambil oleh pengepul.
“Dikumpulin semingu itu ada sekitar 80an boboko, terus nanti diambil sama pengepulnya. Satu boboko harganya Rp25ribu,” ujarnya.
Ditengah kemajuan jaman ini beberapa tempat pembuatan boboko pun memilih tutup lantaran menurunnya minat pembeli.
Meski begitu Nesa dan Emong tetap bertahan membuat boboko lantaran tak ada pekerjaan lain.
Discussion about this post