Kemampuan membuat boboko didapatkan Emong dan Nesa dari orangtuanya.
Karena sejak turun temurun keluarganya menjadi pengerajin boboko.
Dalam sehari keduanya bisa membuat sekitar 10 hingga 20 boboko tergantung dari ketersediaan bahan baku dan kualitas bahan baku.
Proses pembuatannya pun perlu memakan waktu cukup lama dimulai dengan memotong selongsong bambu menjadi bilah bambu yang kemudian dipotong tipis menjadi ruatan bambu.
Selanjutnya bambu dihaluskan dan dijemur agar lebih mudah dibentuk.
“Kalau sudah ada bambu yang diraut proses pembuatan satu boboko makan waktu 10 menitan. Awalnya di anyam kemudian dibentuk terus dipasangi kaki,”katanya.
Selain ingin melestarikan usaha turun temurun, Emong terpaksa tetap bertahan menjadi pengerajin boboko lantaran kondisi kakinya mengalami musibah pada tiga tahun lalu.
Kondisi itu membuat Ia harus menggunakan tongkat untuk berjalan.
“Ya, bertahan karena tidak bisa kerja yang lain cuma kerja gini aja buat sehari harinya,” ucapnya.
Dari sisi penjualan pasutri ini tak ada kesulitan untuk menjualnya.
Nesa mengatakan setiap satu minggu sekali boboko yang sudah dikumpulkan ini akan diambil oleh pengepul.
“Dikumpulin semingu itu ada sekitar 80an boboko, terus nanti diambil sama pengepulnya. Satu boboko harganya Rp25ribu,” ujarnya.
Ditengah kemajuan jaman ini beberapa tempat pembuatan boboko pun memilih tutup lantaran menurunnya minat pembeli.
Meski begitu Nesa dan Emong tetap bertahan membuat boboko lantaran tak ada pekerjaan lain.
Discussion about this post