Juruketik.com – Kopi khas kaki Gunung Batu, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor yang diberinama Ki Demang memiliki pesona tersendiri sehingga menjadi daya tarik para penyuka kopi.
Banyak penikmat kopi yang rela menempuh waktu berjam jam dari pusat Kota Bogor ataupun dari pusat pemerintahan Kabupaten Bogor atau luar Bogor untuk bisa menyeruput kopi Ki Demang khas Kaki Gunung Batu.
Dilihat dari prosesnya, pengolahan kopi Ki Demang khas Bogor ini membutuhkan waktu yang lama dan dikerjakan oleh masyarakat lokal sehingga bisa menghasilkan kopi yang berkualitas.
Ketua Kelompok Tani Gunung Batu Andika Anditisna (43) menjelaskan proses pembuatan kopi Ki Demang diawali dengan pemetikan ceri atau biji kopi yang dilakukan saat panen satu tahun sekali selama tiga bulan berturut-turut.
Selanjutnya biji kopi yang sudah dipanen dipisahkan antara ceri hijau dan ceri merah.
Proses ini memerlukan sekitar 10 hingga 20 orang lantaran biji kopi yang datang setiap hari mencapai 1 hingga dua ton saat musim panen.
“Selain saya panen pohon kopi milik sendiri, saya juga menerima kopi dari petani lain yang jenisnya sama yaitu jenis robusta asli Sukamakmur,” katanya.
Selanjutnya setelah ceri hijau dan merah dipisahkan, tahapan selanjutnya adalah proses penjemuran yang dilakukan di bawah sinar matahari selama 14 hari.
Setelah 14 hari dan kopi sudah memiliki kekeringan yang pas maka kopi akan di giling.
“Kalau sudah giling kita masuk lagi ke proses sortir untuk memastikan kopi berkualitas,” katanya
Setelah proses penyortiran tahap selanjutnya adalah proses rostin dan giling setelah itu kopi siap digunakan.
Selain dijual dalam bentuk bubuk kopi Ki Demang ini juga bisa dinikmati langsung ditempat di Kedai Kopi Ki Demang yang berada tepat di bawah kaki Gunung Batu secara geografis memiliki letak pada ketinggian 600 meter di atas permukaan laut dengan suhu udara rata rata berada pada 26 derajat celcius.
Kedai kopi ini menandai bahwa pertanian kopi di wilayah Sukamakmur diolah dari hulu ke hilir dari proses penanaman kopi hingga menjadi produk olahan yang bisa langsung dikonsumsi.
Inisiasi awal membuat kedai ini dilakukan Andika lantaran ingin mengenalkan lebih luas kopi Sukamakmur dan maju bersama para petani kopi.
Awalnya Andika pernah menjadi penyuplai sayuran dan mengelola jalur pendakian Gunung Batu ini melihat adanya pepohonan kopi yang tak terawat milik keluarganya.
Dari sana kemudian Ia mencoba mengelola pohon kopi tersebut dan membuka kedai sebagai proses hilir dari pertanian kopi.
“Saya awalnya dari kelompok tani kopi sama komunitas lain, terus selama perjalanan usaha kan kalau cuma usaha dikebun jualnya biji (ceri) gitu kerasanya kaya begitu begitu aja. Hasilnya habisnya buat ngerawat kebun, gitu gitu aja,” kata pria yang juga pemilik Kedai Kopi Ki Demang.
Sebelum menjalani proses hulu ke hilir pertanian kopi, Andika banyak belajar dari komunitas dan sering mengikuti seminar.
Memiliki niat untuk menjadikan kopi Sukamakmur dikenal masyarakat luas dan untuk maju bersama petani kopi Desa Sukamulya, Andika kemudian memberanikan diri membuka kedai.
“Nah akhirnya ada rezeki sedikit tahun 2018 saya coba bangun kedai kopi, dulu masih sekitar cuma 9 sampai 10 meja saja,” ujarnya.
Dalam menjalankan bisnis kopinya Andika tidak sendirian.
Ia pun melibatkan para petani kopi serta kaum milenial di Desa Sukamulya dan Desa Sukamakmur, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor untuk ikut membangun proses hulu ke hilir pertanian kopi.
Selain melibatkan para petani, Andika juga melibatkan para istri petani untuk memilah biji kopi.
Dua orang pemilih biji kopi diantaranya yakni Ibu Empat dan Bu Acih.
Empat yang sudah sejak 2018 bekerja memilah kualitas biji kopi terlihat fokus memandangi biji kopi di atas nampan.
Ia pin dengan teliti memisahkan antara biji kopi yang pecah, kopong, serta rusak.
“Kalau proses ini kata Aa Andi gak boleh sama yang lain jadi cuma seginian aja. Jadi tugas kita kalau musim panen dan kopi sudah selesai dijemur kemudian digiling ini adalah memilah antara biji kopi yang pecah, kopong dan kualitas baik, yang diambil yang kualitasnya bagus. Ini berkali-kali dipilih biar enggak ada yang kelewat dipilih satu-satu,” ujarnya.
Selama lebih dari tiga tahun menjadi pemilah biji kopi, Empat mengaku memiliki penghasilan tambahan untuk membantu suaminya dan untuk jajan sang anak.
Karena biasanya sebelum diajak bergabung untuk bekerja, keseharian Empat hanya sebagai ibu rumah tangga dan sesekali membantu suami merawat kebun.
Kondisi yang sama juga diakui oleh Acih yang merasa terbantu dari sisi perekonomian dengan bekerja sebagai pemilah biji kopi.
Peningkatan ekonomi kelompok tani Gunung Batu juga tidak hanya dirasakan oleh istri para petani. Namun para petani kopi ataupun buruh tani kopi pun sangat merasakan hasilnya.
Seperti seorang petani trubus yakni Oyo (50) yang kini memiliki pekerjaan tambahan menjadi petani kopi.
Disela-sela kegiatannya merawat kebun trubus miliknya, sejak tahun 2018 Oyo sudah membantu menanam bibit kopi, merawat hingga memanen ceri kopi yang dipanen satu tahun sekali selama tiga bulan.
“Alhamdulillah ada pemasukan tambahan, karena saya kerja sudah sejak 2018. Dari mulai nanem sampai panen saya ikut sama teman teman yang lain juga ada ikut,” katanya.
Discussion about this post