Juruketik.com – Mandeknya pembahasan Panitia Khusus atau Pansus Agraria DPR RI memicu keresahan baru di kalangan petani sawit rakyat. Forum Tani Sawit bersama Pusat Studi Sawit IPB menilai stagnasi ini sebagai langkah mundur serius dalam penyelesaian konflik agraria yang terus menjalar di berbagai daerah.
Mereka menyebut, tanpa kerja nyata Pansus, pemerintah dan DPR seolah membiarkan ribuan keluarga petani hidup dalam ketidakpastian hukum. Kepastian lahan yang seharusnya menjadi fondasi produksi, justru berubah menjadi sumber ketakutan berkepanjangan.
Contoh paling nyata dari carut-marut tata kelola agraria terlihat dalam konflik berkepanjangan agraria yang terjadi di Taman Nasional Teso Nilo (TNTN), Riau. Alih-alih ditangani secara menyeluruh, persoalan ini justru menggantung selama bertahun-tahun dan memakan ribuan korban sosial dari penggusuran, kriminalisasi petani, hingga hilangnya mata pencaharian.
Forum Tani Sawit mengkritik pemerintah karena hanya fokus pada penindakan tanpa memperbaiki akar masalah, ketidakjelasan batas kawasan, tumpang tindih izin, dan absennya skema penyelesaian yang adil bagi petani yang sudah turun-temurun tinggal di kawasan yang kini diklaim negara.
“TNTN adalah salah satu bukti paling jelas dari banyaknya kasus konflik Agraria bahwa pemerintah gagal merumuskan solusi permanen dari konflik agraria,” ungkap Abdul Aziz, Ketua Forum Tani Sawit saat menggelar FGD Pansus Konflik Agraria di IPB Convention Center Bogor pada Kamis, 27 November 2025.
Hal senada juga diungkap Samuel Simanjuntak Wakil Sekjend Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan dan Pertanahan Riau. Ia menambahkan, bahwa di berbagai kawasan konservasi, termasuk TNTN, persoalan tidak hanya soal perambahan, tetapi karena negara terlambat dalam menyelesaikan konflik.
Banyak masyarakat sudah bermukim sejak sebelum penetapan kawasan, namun kini diperlakukan sebagai perambah ilegal dan dipaksa keluar dari rumahnya sendiri.
“Jangan tiba-tiba datang terus mengusir masyarakat dengan pendekatan kekuasan melalui alat-alat negara, kami ini juga anak-anak bangsa yang dijamin hak hidupnya” sindirnya.
Disisi lain Yagus Suyadi Mantan Staf Ahli Bidang Hukum ATR/BPN mengungkapkan jika negara dianggap bersikap kontradiktif. Pemerintah terus mendorong ekspor CPO, mengejar target pemasukan negara via pajak dan non pajak atau PNBP, meningkatkan kesejahteraan petani sawit, dan menggaungkan hilirisasi, tetapi membiarkan kebijakan agraria tumpang tindih yang membuat petani berada dalam posisi rentan.
TNTN hanyalah satu dari lebih 600 titik konflik agraria yang belum terselesaikan secara struktural.
“Perlu singkronisasi data kawasan hutan serta penguatan dan pengendalian di kawasan HGU yang terlantar atau yang sudah dikelola masyarakat, juga penting melakukan pendekatan yang humanis dengan masyarakat agar capaian dan target manis pembenahan pemerintah diatas kertas sejalan dengan realita dilapangan,” ungkap Yagus yang juga pengurus Bank Tanah ATR/BPN.
Keterlambatan Pansus Agraria dalam bekerja memperburuk situasi. Para petani menganggap mandeknya pansus sebagai bentuk ketidakseriusan DPR dalam menghadapi konflik berbasis lahan yang telah berlarut puluhan tahun.
“Pansus seperti kehilangan nyali politik, jika kawasan hutan Dikelola negara Halal, namun sebaliknya jika dikelola rakyat Haram,” timpal Eko dari Samade Riau (Sawitku Masa Depanku).
Padahal, keberadaan Pansus diharapkan menjadi momentum reformasi agraria yang lebih tegas dan terukur, bukan hanya seremonial. Tanpa keberanian politik untuk merombak regulasi dan membenahi institusi agraria, konflik seperti TNTN akan terus berulang, bahkan bereskalasi.
Forum Tani Sawit mendesak agar Pansus segera memanggil pemerintah, Kementerian ATR/BPN, KLHK, hingga pemerintah daerah untuk duduk satu meja dan menyelesaikan akar persoalan. Mereka juga meminta pengakuan hak bagi petani yang telah menghuni sebelum kawasan ditetapkan, serta skema legalisasi yang realistis dan humanis.
Mereka menegaskan bahwa penyelesaian konflik agraria bukan hanya soal memulihkan lahan, tetapi memulihkan martabat masyarakat. Ketika pemerintah tidak hadir dengan solusi, masyarakat akhirnya menjadi korban dari ketidakteraturan hukum yang diciptakan negara sendiri.
Tanpa pembenahan serius, TNTN dan ratusan konflik lain akan terus menjadi bom waktu sosial di pedesaan. Petani sawit, yang selama ini menopang perekonomian daerah dan negara, dibiarkan berjalan tanpa kepastian.
“Jika Pansus tidak bergerak, ini sama saja membiarkan masa depan jutaan keluarga petani hancur,” pungkas Aziz. (sep)












