Juruketik.com – Maraknya kasus sindikat penjualan bayi di Indonesia mendapat sorotan dari kalangan akademisi.
Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak (PKGA) IPB University, Dr Yulina Eva Riany mengungkapkan dampak psikologis dan sosial yang serius terhadap korban, baik anak maupun orang tuanya.
Menurut Dr Yulina, anak-anak korban penjualan bayi berisiko mengalami krisis identitas akibat kehilangan informasi mengenai keluarga biologis. Hal ini dapat menyulitkan mereka dalam memahami asal-usul dan membentuk identitas diri, terutama saat memasuki masa remaja hingga dewasa awal.
“Dalam teori perkembangan sosial Erikson, masa remaja adalah fase krusial pembentukan identitas. Ketika tidak tahu siapa dirinya dan dari mana berasal, remaja akan mengalami kebingungan mendalam yang berdampak jangka panjang,” katanya baru-baru ini.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa ketidakjelasan asal-usul juga dapat memicu perasaan hampa, rendahnya rasa memiliki, dan kesulitan menjalin relasi intim.
Dalam konteks budaya Indonesia yang sangat menekankan garis keturunan, anak-anak tersebut bisa mengalami stigma dan diskriminasi, terutama dalam proses pernikahan atau pencatatan hukum.
Dr Yulina juga menyoroti potensi trauma yang dialami orang tua korban. “Kehilangan anak secara paksa dapat memicu rasa bersalah, stres berat, hingga gangguan kejiwaan seperti depresi dan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD),” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa kondisi ekonomi yang buruk seringkali menjadi faktor utama orang tua terjerumus dalam jaringan sindikat tersebut.
Mengutip Attachment Theory oleh Bowlby dan Ainsworth, Dr Yulina menyebut pemisahan bayi dari orang tua biologis dapat mengganggu pembentukan ikatan emosional aman (secure attachment).
Akibatnya, anak-anak ini lebih rentan mengalami gangguan emosional dan trauma perkembangan.
“Anak yang berpindah tangan beberapa kali berisiko mengalami eksploitasi, kekerasan, hingga menjadi korban perdagangan manusia lainnya,” katanya.
Untuk mengatasi masalah ini, Dr Yulina menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor, termasuk aparat hukum, lembaga sosial, kesehatan, serta Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Ia juga mendorong pemanfaatan teknologi digital, seperti sistem registrasi kelahiran terpadu dan verifikasi biometrik, untuk mencegah pemalsuan identitas bayi.
Selain itu, ia menyarankan kerja sama dengan organisasi internasional seperti UNICEF dan Organisasi Polisi Kriminal Internasional (Interpol) untuk melacak sindikat lintas negara. Penegakan hukum pun harus berbasis child-sensitive justice, serta didukung layanan rehabilitasi psikososial berbasis trauma.
Dr Yulina juga menggarisbawahi pentingnya peran masyarakat dalam mencegah perdagangan bayi melalui konsep community-based child protection (CBCP). Masyarakat, menurutnya, harus dilibatkan dalam deteksi dini praktik mencurigakan, edukasi hukum, dan membangun jaringan perlindungan anak berbasis lokal.
“Tokoh agama, kader posyandu, hingga Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) bisa menjadi garda terdepan. Mereka dapat membantu mendeteksi indikasi adopsi ilegal dan aktivitas klinik persalinan yang tidak resmi,” tambahnya.
Ia juga menekankan pentingnya kampanye publik berkelanjutan melalui media sosial, televisi, dan pendidikan berbasis sekolah serta keluarga. Materi terkait hak anak dan bahaya perdagangan manusia perlu dimasukkan dalam kurikulum dan program parenting.
“Nilai-nilai lokal dan agama harus digerakkan untuk membentuk kesadaran kolektif. Keluarga dan komunitas adalah benteng pertama melawan sindikat ini,” tegas dia.
Dr Yulina menambahkan, upaya preventif harus mencakup pendidikan pengasuhan, dukungan ekonomi bagi keluarga rentan, dan pembentukan jejaring early warning system di tingkat RT/RW.
Ia juga menyoroti peran kelompok seperti PKK, posyandu, dan karang taruna dalam menciptakan sistem perlindungan informal yang efektif. (Adm)