Juruketik.com – Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Bogor, Yuno Abeta Lahay, angkat suara terkait polemik royalti musik yang belakangan ramai diperbincangkan.
Menurutnya, isu royalti musik sebenarnya sudah lama diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan implementasinya mulai berjalan sejak 2016.
“Yang menjadi polemik itu adalah kasus salah satu outlet makanan dan minuman di Bali, nilainya miliaran. Dari situ banyak yang salah paham. Padahal mekanisme ini harus benar-benar dipahami oleh teman-teman kafe dan restoran,” kata Yuno Abeta Lahay.
Pria yang akrab disapa Yuno menjelaskan, beban tarif royalti memang dirasakan berat oleh para pelaku usaha, apalagi di tengah kondisi ekonomi saat ini.
Ia mencontohkan, jika sebuah restoran memiliki 100 kursi, maka dengan perhitungan Rp120 ribu per kursi, total yang harus dibayarkan mencapai Rp12 juta per tahun.
“Pertanyaannya, apakah kursi itu selalu terisi? Kan tidak. Jadi keadilan ini yang kami suarakan,” tambahnya.
Menurut Yuno, persoalan royalti melibatkan tiga pihak: pelaku usaha sebagai pemutar musik, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) sebagai pemungut sekaligus penyalur, serta para pemilik hak cipta seperti pencipta lagu, artis, dan produser.
Namun, kata dia, masalah muncul karena adanya ketidakpuasan dari sisi transparansi dan akuntabilitas pembagian royalti.
“Polemik yang muncul seperti yang dialami Mas Ari Lasso dan lainnya, problemnya di situ. Makanya momentum ini seharusnya jadi saat yang tepat untuk duduk bersama, evaluasi undang-undang, dan ciptakan sistem yang transparan serta akuntabel,” tegas Yuno.
PHRI sendiri mendorong agar sistem royalti ke depan mengadopsi digitalisasi dan direct licensing. Dengan begitu, setiap kali sebuah lagu diputar, pembayaran royalti langsung otomatis tercatat dan tersalurkan tanpa perantara.
Meski begitu, Ketua PHRI Kota Bogor menegaskan bahwa pelaku usaha tidak dalam posisi menolak kewajiban.
“Kami sadar, hidup para musisi ada di sana. Kami mau bayar, tapi kami juga berharap adil. Apa yang dibayarkan sampai ke tempat yang tepat. Lebih transparan, dan langsung, nggak usah singgah dulu,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan, sesuai aturan, pelaku usaha hanya punya dua pilihan: tetap memutar musik dengan kewajiban membayar royalti, atau tidak memutar musik sama sekali. Beberapa kafe dan restoran bahkan kini memilih untuk tidak lagi menyalakan musik agar terhindar dari masalah hukum.
“Memang mungkin ada dampak ke pendapatan, karena musik tadinya jadi sarana pendukung. Tapi ini juga jadi edukasi. Kalau masyarakat datang dan suasana terasa berbeda tanpa musik, ya itu konsekuensinya. Jadi kita konsisten saja, kalau jual kamar ya jual pelayanan, kalau jual makanan ya makanan saja,” pungkasnya. (3RY)